Polemik Gelatin Babi dalam Industri Farmasi Halal


Adistiar Prayoga

Artikel ini telah dimuat di Situs Official Pusat Riset dan Pengembangan Produk Halal Universitas Airlangga pada 30 Juli 2020


Indonesia merupakan pangsa yang menjanjikan bagi industri farmasi. Pada tahun 2018 terdapat 306 perusahaan farmasi di Indonesia, baik dikelola oleh swasta, Badan Usaha Milik Negara, maupun asing (Kemenperin 2019; GP Farmasi 2019; BPS 2019). Hasil riset Kalbe Farma (2017) menunjukkan pasar farmasi Indonesia tumbuh rata-rata 20.6 persen/tahun (CAGR) pada kurun waktu 2011-2016. Riset tersebut juga menjelaskan bahwa hasil proyeksi pasar farmasi Indonesia mencapai Rp 102,8 triliun pada 2020 atau meningkat hampir dua kali lipat jika dibandingkan pada tahun 2016 yakni sebesar Rp 69,1 triliun (Kata Data 2017). Pada tahun 2017, Industri farmasi mengalami pertumbuhan sebesar 6.85 persen atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan nilai investasi di sektor farmasi sebesar 35.65 persen (Harian Neraca, 21 Maret 2018). Kementerian Kesehatan (2018) mengestimasi bahwa nilai pasar industri kesehatan pada 2019 sebesar USD 21 Miliar. Pertumbuhan pasar farmasi domestik tersebut didukung oleh tiga hal (Econmark Mandiri Group Research 2017), yakni: (a) besarnya populasi dan tumbuhnya masyarakat kelas menengah di Indonesia, (b) meningkatnya pendapatan per kapita seiring tumbuhnya perekonomian membuat masyarakat akan semakin peduli dengan kesehatan, (c) adanya program jaminan kesehatan pemerintah (Jaminan Kesehatan Nasional/JKN) juga akan meningkatkan permintaan produk kesehatan.

Pada sisi lain industri farmasi masih berpotensi untuk dilakukan kapitalisasi, jika menilik rendahnya pengeluaran kesehatan per-kapita Indonesia. Data World Development Indicator (2014) menyatakan bahwa belanja kesehatan Indonesia masih 2.8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini di bawah rata-rata belanja negara-negara kawasan Asia Tenggara (ASEAN), yakni 4.6 persen. Sementara itu, berdasarkan pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009, dinyatakan bahwa alokasi belanja kesehatan yang mutlak harus dipenuhi (mandatory spending), minimal 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja, di luar gaji. Pada 2018, diperkirakan 158 ribu masyarakat Indonesia telah mendapatkan jaminan asuransi nasional (BPJS) dan 95 persen perusahaan di Indonesia anggotanya juga telah terdaftar di jaminan asuransi nasional (BPJS).

Potensi pada industri farmasi dihadapkan pada beberapa tantangan, diantaranya adalah penerapan sistem jaminan halal sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Industri farmasi dan mayoritas konsumen Indonesia dihadapkan pada kondisi paradoksal, yakni jumlah mayoritas bahan baku farmasi yang diimpor dari negara-negara non-muslim (sehingga tidak terjamin kehalalannya) dan penduduk Indonesia yang mayoritas muslim sehingga membutuhkan perlindungan atas jaminan halal. Jumlah penduduk Muslim Indonesia sebesar 87.21 persen dan dihadapkan pada bahan baku impor obat-obatan sebesar 95 persen (Kemenag 2017; Kemenkes 2018). Ketua Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama menyatakan bahwa rencana penerbitan Peraturan Pemerintah sebagai operasionalisasi UU JPH terkendala di Kementerian Kesehatan terkait pembahasan produk farmasi terutama vaksin dan obat-obatan (Republika, 3 Februari 2018).

Total persentase produk bersertifikat halal sejak tahun 2011- 2014 adalah 26,11 persen sehingga produk pangan, kosmetika, dan obat-obatan yang beredar dan belum bersertifikat halal tahun 2011-2014 sebesar 73.89 persen (Kemenag 2015), dimana hanya 34 produk obat dan 3 vaksin yang sudah tersertifikasi halal. Upaya penggunaan produk farmasi pada umat Islam saat ini dilakukan secara mandiri, dan tentunya masih menimbulkan pro dan kontra. Beberapa konsep yang digunakan untuk menyelesaikan ketidakpastian hukum menggunakan pendekatan mashlahahdharuriyah, ataupun menggunakan metode purifikasi alternatif seperti istihalah dan istihlak (Jamaluddin et al 2009). Diantara titik kritis penggunaan bahan farmasi adalah gelatin yang berasal babi (Asmak et al 2019).

Kaidah hukum Islam (fiqh) menyatakan bahwa daging babi (lahm al-khinzir) dan produk turunannya haram untuk dikonsumsi. Hal ini sebagaimana kaidah dasar yang termaktub dalam kitab suci Alquran surat Albaqarah ayat 173, yang artinya “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan hewan yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah”. Ketika menjelaskan kata daging babi (lahm-al khinzir), Al-Kurtubi dalam AlJami’ li ahkam al-qur’an mengatakan bahwa para ahli hukum Islam bersepakat dalam konsensus bahwa semua babi adalah haram. Kemudian, Ibn Hazm berkata dalam Al-muhalla bahwa “tidak halal memakan sesuatu apapun dari babi, baik daging, lemak, kulit, urat, tulang rawan, usus, otak, tulang, kepala, organ tubuh lainnya, susu, dan rambutnya, baik jantan maupun betina, kecil maupun besar. Begitu juga tidak halal mengambil manfaat rambut babi baik untuk manik-manik atau selainnya”. Pernyataan terkait haramnya produk turunan daging babi difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagaimana dijelaskan dalam Fatwa MUI Juni 1980 dan September 1994 tentang keharaman makanan dan minuman yang bercampur barang haram/najis dan keharaman memanfaatkan unsur-unsur babi, serta dikuatkan oleh Fatwa Nomor 52 tahun 2012 tentang Hukum Hewan Ternak yang Diberi Pakan dari Barang Najis.

Meskipun demikian, terdapat dua pandangan berbeda tentang penggunaan gelatin yang berasal dari babi. Hasil Konferensi Fiqhi ke-3 yang diadakan di Makkah al-Mukaramah menyatakan bahwa gelatin yang berasal dari jaringan dan kulit babi tidak diizinkan. Selaras dengan hal tersebut, Keputusan komisi B2 masail fiqhiyah mu’ashirah (masalah fikih kontemporer) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V tahun 2015 tentang Istihalah menyatakan bahwa setiap bahan yang terbuat dari babi atau turunannya haram dimanfaatkan untuk membuat makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika dan barang gunaan, baik digunakan sebagai bahan baku, bahan tambahan maupun bahan penolong. Di sisi lain Akademi Fiqha Islam, India telah memutuskan bahwa semua jenis gelatin diizinkan karena adanya proses transformasi atau istihalah (Hammad 2009; Akbar dan Khan 2016).  Beberapa ulama kontemporer, termasuk Dr. Yusuf Qaradhawi, (peraih Top 20 Intellectuals Worldwide dari Foreign Policy Magazine Amerika Serikat), menyatakan bahwa penggunaan gelatin diperbolehkan karena produk tersebut sudah mengalami transformasi kimia pada materi porcine (Bouzenita 2010).

Gelatin merupakan salah satu biopolimer paling populer dalam industri farmasi, khususnya pembuatan kapsul lunak dan keras (Johnston-Banks, 1990; Schrieber & Gareis, 2007; Park 2007; Gunawan et al 2017). Berdasarkan penelitian Karim dan Bhatt (2009) terdapat kurang lebih 326.000 ton yang diproduksi per-tahun, dengan rincian 45 persen berasal dari kulit babi, 29.4 persen dari kulit sapi; 23.1 persen dari tulang dan 1.5 persen dari sumber lainnya. Boran dan Regenstein (2010) menyatakan bahwa 80 persen gelatin di Eropa berasal dari kulit babi. Hal ini didukung penelitian yang menyatakan bahwa sistem biologis babi mirip manusia. Kemiripan sistem organ babi dengan sistem pada manusia mencapai 80-90 persen, baik anatomi maupun fungsinya (Swindle 2007).

Leave a comment